Jumat, 04 September 2009

Globalisasi Halal Sebagaimana HACCP, ISO 9000

Tibalah Saatnya Globalisasi Halal

Popultryindonesia.com, Jogjakarta. Serifikasi halal bukan hanya milik Laporan Utamamuslim di Indonesia. Maka sudah saatnya Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP) dimasyarakatkan secara global. Caranya?

 

Sebagaimana HACCP, ISO 9000, dan lain sebagainya yang telah menjadi standar uji mutu internasional, sertifikasi halal mestinya sudah saatnya diinternasionalkan. Namun sayangnya sampai kini prosedur halal belum distandarkan secara global, padahal jumlah konsumen muslim dunia sekitar 1,8 milyar orang, yang tersebar di 112 negara.

Bahkan pada tingkat lokal, seperti di negara-negara mayoritas muslim, prosedur halal belum banyak disentuh dan diaplikasikan. "Oleh karenanya, tantangan ke depan nantinya bahwa prosedur dan sertifikasi halal bagi suatu produk harus diaplikasikan di seluruh dunia. Karena hampir setiap bulan bermunculan produk-produk baru yang harus memenuhi standarisasi halal", ujar Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc, staf peneliti pada Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM pada seminar sehari dengan tema Masalah Halal: Kaitan Antara Syar'i, Teknologi, dan Sertifikasi, 10 Mei 2003 di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM.

Hadir dalam acara yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Muslim Fakultas Teknologi Pertanian (KMMFTP) UGM ini antara lain, Drs. H.A. Malik Madaniy, Ketua Komisi Fatwa MUI DIY, Dr. Ir. Djagal W. Marseno, M.Agr, anggota Auditor LP-POM MUI DIY dan Subagyo, Internal Halal Auditor PT. Sari Husada, Tbk.

Lebih jauh, Raharjo menyatakan, masih banyak produk makanan yang labelnya belum mencantumkan "HALAL", yang berakibat konsumen ragu terhadap produk tersebut. Belum lagi ditambah dengan ketidakjelasan produk tersebut, mulai dari penanganan pra produksi hingga pasca panen. Kondisi tersebut terjadi karena perdagangan antarnegara makin berkembang. Namun, kondisi tersebut tentu akan merugikan produsen yang justru akan kehilangan potensial loyal customers at the point of purchase.

Dalam kesempatan itu, Raharjo memberi contoh kondisi Rumah Pemotongan Ayam (RPA) yang menggunakan fasilitas umum sebagaimana kegiatan masyarakat lain.  RPA ini tidak mempunyai air yang cukup, kalaupun ada berasal dari air sungai. Jelas, hal ini diragukan kehalalannya, karena bisa jadi air sungai tadi beresiko tercemar bahan-bahan lain yang tidak halal. Oleh karena itu, sangat bijaksana jika pemilik RPA memisahkan proses halal-haram pada penyembelihan, pengolahan.

"Karena nantinya jika pemisahan halal-haram tidak jelas dilakukan, maka akan terjadi cross contamination yang membahayakan kita bersama. Adalah prinsip kehati-hatian terhadap produk mana yang halal dan mana yang haram harus selalu ditekankan", kata Raharjo.

Selanjutnya diambahkan, ke depan kemungkinan ada dugaan religio-terrorism bakal terjadi, dalam artian bahwa ada orang-orang yang tak bertanggung jawab melakukan tindakan perdagangan dan distribusi komoditi strategis atau sembako seperti daging sapi, daging ayam, dan sebagainya melalui cara-cara yang tidak halal.

Maka pemerintah harus melakukan tindakan pengawasan hingga regulasi terhadap komoditas strategis ini, sehingga setiap unit usaha pengolahan bahan makanan harus memenuhi prosedur dan sertifikasi halal dari manapun datangnya. Oleh karena itu, menurut Raharjo, aksi atau tindakan kampanye globalisasi halal sangat perlu disosialisasikan segera ke seluruh dunia.

Islam, menurut Malik Madaniy, sangat jelas menyebutkan beberapa jenis makanan yang diharamkan bagi umat manusia di dunia ini, selain yang dihalalkan. Adapun konsekuensi jika kita mengkonsumsi makanan yang haram adalah akan berakibat buruk bagi sistem metabolisme tubuh, jiwa dan pikiran kita. Sedangkan makanan yang halal sudah pasti akan menimbulkan kemasalahatan bagi umat manusia. "Namun harus hati-hati. Suatu makanan yang halal bisa juga menjadi haram jika cara memperolehnya melalui tata cara yang haram," ujar Malik.

Sedangkan Subagyo menyatakan, PT Sari Husada, Tbk memiliki komitmen tinggi terhadap produksi produk-produk yang halal, berkualitas, aman dan ramah lingkungan. Adapun pedoman produksi yang telah dimiliki PT SH adalah ISO 9000 yang mengatur sebagai produk yang berkualitas, HACCP yang mengatur sebagai produk yang aman, ISO 14001 dan SMK3 yang mengatur sebagai perusahaan yang ramah lingkungan dan menerapkan keselamatan kerja serta sistem halal, yang di PT SH dikenal dengan sebutan Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP). Sebagai contoh, HrACCP di PT SH ini telah diterapkan dalam industri susu.

Sementara Djagal W. Marseno menyatakan, perkembangan jumlah penduduk yang makin meningkat akan membawa dampak pada kebutuhan baik pangan maupun non pangan (obat-obatan dan kosmetika) yang makin tinggi pula. Bagi umat Islam, babi, darah dan bangkai merupakan makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, dari sisi konsumen muslim, unsur kehati-hatiaan dalam memilih bahan yang akan dikonsumsi perlu menjadi pertimbangan utama dan bagi produsen perlu memikirkan alternatif bahan-bahan lain (tapi memiliki sifat fungsional sama) yang akan digunakan dalam pembuatan suatu produk.

"Berangkat dari kenyataan tersebut, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang salah satu fungsinya adalah melindungi umat Islam dari kemungkinan mengkonsumsi barang-barang yang haram, telah membentuk suatu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM) MUI pada tanggal 6 Januari 1989", ujar Djagal.

Ditambahkan, lembaga ini dimaksudkan untuk membantu MUI dalam menentukan kebijaksanaan, merumuskan ketentuan-ketentuan, rekomendasi dan bimbingan yang menyangkut pangan, obat-obatan dan kosmetika sebagai kebutuhan umat yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam. Maka melalui lembaga ini, pihak perusahaan yang terkait langsung dengan ketiga produksi tersebut dapat memperoleh sertifikasi halal dari MUI, setelah disetujui oleh Komisi Fatwa MUI, sehingga nantinya perusahaan akan bebas memproduksi tanpa ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar