Jumat, 04 September 2009

”penipuan” terhadap konsumen

Perlindungan Konsumen

 

TERSIARNYA kabar mengenai kasus "penipuan" terhadap konsumen yang dilakukan ratusan pengusaha restoran dan rumah makan besar dan menengah di lima wilayah Jawa Barat, beberapa waktu lalu, benar-benar merupakan berita mengejutkan. Jika informasi tersebut demikian adanya, hal ini jelas-jelas adalah suatu bentuk pelecehan terhadap hak-hak yang dimiliki konsumen, salah satunya adalah hak untuk mendapat kepastian kehalalan suatu produk agar dapat menentramkan batin yang mengonsumsinya.

 

Tindakan para pengusaha restoran dan rumah makan tersebut yang dengan lancang mencantumkan label halal tanpa pernah disertifikasi badan berwenang dianggap telah melanggar hukum, yaitu pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sungguh patut disayangkan jika pelanggaran itu memang dilakukan oknum pengusaha.

 

Konsumen Muslim yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia adalah pihak paling dirugikan dalam hal ini. Kepastian halal tidaknya suatu produk makanan atau minuman dijamin dengan ada tidaknya label halal tercantum pada produk makanan atau minuman tersebut. Label halal pada suatu produk dapat menjadi suatu acuan bagi konsumen Muslim untuk memilih dan membeli produk. Jika hal ini saja tidak dapat dipercaya, dengan cara bagaimana lagi para konsumen muslim dapat dengan 100% yakin makanan dan minuman yang dikonsumsinya sudah memenuhi syariat agama Islam.

Sertifikat halal merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Jadi para pengusaha tidak dapat begitu saja menempelkan logo halal pada kemasan produknya tanpa melalui proses sertifikasi yang telah disahkan badan yang berwenang. Lalu, siapakah yang berhak
mengeluarkan sertifikat halal? Sertifikat halal dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau disingkat LP POM MUI.

Lembaga ini dibentuk berdasarkan SK Kep-018/MUI/1989 tanggal 6 Januari 1989.
LPPOM MUI bertugas membantu MUI dalam menentukan kebijakan, merumuskan ketentuan-ketentuan, rekomendasi, dan bimbingan yang menyangkut baik produk pangan, obat-obatan, maupun kosmetika sebagai kebutuhan umat yang sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. Lembaga ini juga bertugas melakukan pengawasan dengan melakukan audit secara rutin kepada pihak pengusaha dan berhak memberikan logo dan tanda halal setelah mendapat persetujuan dari komisi fatwa MUI.


Sertifikasi tidak rumit


Proses sertifikasi halal bukan hal yang rumit untuk dilaksanakan. Proses ini dimulai dengan dibuatnya rencana pengajuan sertifikasi halal pihak produsen atau pengusaha kepada MUI. Di sini produsen atau pengusaha seyogianya menyiapkan suatu sistem jaminan halal (halal assurance system) terlebih dulu.
Sistem jaminan halal diuraikan dalam Panduan Halal (halal manual) yang merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan dan berisi rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan suatu produk. Di dalamnya tercakup prosedur baku pelaksanaan produksi (standard operating procedure/SOP) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya terjamin sesuai dengan aturan yang digariskan oleh LP POM MUI. Aturan tersebut, dapat menentukan halal tidaknya suatu produk dengan mengikuti dasar hukum yang jelas.


Dasar hukum pertama tentu saja adalah Alquran yang sifat hukumnya tetap. Misalnya saja seperti tercantum dalam beberapa ayat Alquran dan disebutkan, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah" (Q.S. Al Baqarah 172-173); "hewan tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas kecuali kita sempat menyembelihnya" (Q.S. Al Maidah 3). "Allah SWT juga mengharamkan minuman yang memabukan seperti khamr" (Q.S. Al Maidah 90-91) "tetapi menghalalkan binatang buruan laut dan makanannya" (Q.S. Al Maidah 96).


Dasar ketetapan hukum kedua adalah Alhadis yang merupakan penjabaran aplikatif dari kaidah Qur'aniyyah dan berupa penjelasan lebih lanjut terhadap kaidah yang bersifat umum. Ijma Shahabat adalah dasar hukum ketiga dan merupakan kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad Saw serta ulama atas permasalahan yang terjadi. Sedangkan dasar keempat adalah Qiyas yang merupakan metode penentuan hukum secara analogi, diambil berdasarkan kasus yang telah ditentukan Alquran dan Alhadis. Terakhir, yaitu Fatwa, berupa keputusan hukum agama yang dibuat dengan ijtihad (ulama) atau hasil kesepakatan para ulama atas hal-hal yang tidak terdapat di dalam Alquran maupun Alhadis.


Sistem Jaminan Halal dapat dianggap sebagai kerangka kerja yang harus dipantau terus-menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan paling efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang terjadinya perubahan baik faktor internal maupun eksternal.
Hal yang tercakup dalam sistem jaminan halal harus dapat dipahami seluruh karyawan
perusahaan bersangkutan agar dapat menghasilkan produk halal yang baik. Perlu dicatat,
panduan halal dan prosedur baku proses produksi dapat dibuat secara sederhana asalkan di dalamnya dapat terlihat alur proses produksi yang jelas.

Auditor halal

Untuk mengawasi apakah kehalalan produk dapat dijamin dan proses produksi telah dilakukan sebagaimana mestinya, perusahaan harus menunjuk minimal seorang auditor halal internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal. Audit internal ini harus dilakukan secara berkala dan hasilnya nanti dilaporkan kepada MUI setiap 6 bulan sekali setelah terbitnya sertifikat halal. Jika syarat-syarat di atas telah dilaksanakan, selanjutnya pihak pengusaha mendaftarkan diri untuk proses sertifikasi dengan mengisi formulir yang telah disediakan juga melampirkan panduan halal dan prosedur baku proses produksi sebagai dokumen pendukungnya. Kemudian tim auditor LP POM MUI akan melakukan pemeriksaan ke lokasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar