"Berbukalah dengan yang Manis": Keliru!
Dalam paradigma holistik -yaitu cara pandang manusia melihat tubuhnya sebagai kesatuan antara tubuh fisik, jiwa (emosi, kondisi alam pikir, baik sadar maupun bawah sadar) dan spiritual- puasa merupakan seni sekaligus sains. Puasa sebagai sekadar "aturan" akan sama saja dengan aturan lain yang berlaku di masyarakat: hanya melulu menerapkan mana yang boleh dan yang tidak boleh. Setiap kata "tidak boleh" akan menerbitkan tetes liur bernama: godaan, yang membutuhkan berton-ton perjuangan agar bertahan. Maka puasa perlu dibahas sebagai masa transformasi saat istilah "tidak boleh" menjadi "tidak mau, karena pilihan dan kesadaran".Sains agama dan sains kesehatan bisa jadi berjalan sejajar, karena Sang Nabi Besar, Mohammad S.A.W. tidak pernah berbuka puasa dengan teh manis atau kolak pisang legit, bersama martabak manis dan kue serabi kuah panas. Beliau mensyukuri puasa yang telah ditunaikannya dengan air segelas dan dua butir kurma (bukan "preserved with sugar"!). Hal ini sangat masuk akal karena kadar gula darah tubuh turun dalam 10-12 jam secara perlahan, berangsur-angsur sejak imsak hingga maghrib. Untuk mengembalikan gula darah pada level yang aman, tubuh kita juga harus menyesuaikan diri secara bertahap.
Yang ideal, setiap kali manusia makan selalu terdapat 3 makro nutrien, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Karbohidrat berkualitas -lambat dicerna menjadi gula (Glisemik Indeks rendah), agar tidak "menggoda" insulin yang berdampak munculnya hormon-hormon eikosanoid yang tidak diinginkan (dengan akibat: menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, mencetuskan sel-sel yang tidak diinginkan, menekan kekebalan tubuh, dan mendorong munculnya peradangan). Karbohidrat baik juga berserat, alkalis, dan tinggi antioksidan.
Karbohidrat menempati porsi terbesar dalam makanan manusia, jadi apa yang dimakan sebagai karbohidrat sangat menentukan "wellbeing" seseorang. Yang perlu diingat: Sayur dan buah adalah karbohidrat. Sebaliknya, semua jenis gula dan turunannya, seperti terigu, beras, dan pati, adalah karbohidrat buruk yang sebenarnya "bukan makanan manusia", namun menjadi produk konsumsi karena perkembangan pesat teknologi pangan yang "diklaim" sebagai... budaya! Kenyataannya, kebudayaan donat dan sarapan roti sudah lama ditinggalkan oleh mereka dari tempat kedua makanan itu berasal. Mereka sudah paham apa dampaknya.
Protein akan dipecah menjadi asam amino dalam proses pencernaan. Asam amino inilah yang akan disusun kembali menjadi protein khas sel seseorang. Sekalipun manusia menghindari protein daging, ia justru mampu "mengakses" langsung asam amino yang terdapat dalam sayur dan buah, tanpa perlu memperberat kerja pencernaan dengan harus memecah protein menjadi asam amino terlebih dulu dan merongrong ginjal dengan pembuangan zat sisanya! Dengan demikian, pengonsumsi "raw food" tetap memiliki tenaga yang kuat dan tubuh yang kokoh.
Lemak yang kita konsumsi berasal dari asam lemak esensial tidak jenuh, atau dikenal sebagai MUFA/mono unsaturated fatty acid (berasal dari buah seperti alpukat, kacang-kacangan, dan lain-lain, bukan minyak goreng, apalagi margarin).
Sakit maag selama puasa? Tentu, apabila Anda mengisi lambung penuh-penuh dengan karbohidrat buruk (turunan gula, terigu, beras, pati) sewaktu sahur yang hanya bertahan selama 2 jam. Begitu Anda siap berangkat ke kantor, badan lemas, bahkan pandangan berkunang-kunang. Yang ada justru gula darah meroket, insulin tergopoh-gopoh mengejar: cepat tekan gulanya, simpan jadi lemak! Tidak heran, di bulan puasa justru berat badan melambung. Sakit maag menjadi-jadi, daya tahan ambruk, penyempitan pembuluh darah semakin buruk akibat insulin dipaksa naik terus. Yang lebih buruk lagi: Gula mempercepat proses penuaan.
Lambung justru aman dengan sepiring besar lalap (selada, timun, tomat, kemangi, leunca bagi yang suka, dan lain-lain) bersama buah segar yang tidak terlalu manis (alpukat, pir, apel), ditambah lauk dengan protein dan lemak yang baik (pepes oncom, sup ayam kembang tahu, ikan panggang berbagai bumbu, jamur, dan lainnya). Karbohidrat berbentuk lalap segar akan lambat dicerna karena selain kandungan seratnya tinggi, enzim aktifnya pun masih bekerja, sehingga bukan sekadar kita tidak lapar, tapi juga bertenaga penuh!
Perlakukan sahur sebagai "sarapan yang kepagian", berbuka dengan takjil "aman" seperti sup, soto, buah, atau sepiring karedok. Puasa menjamin terjalinnya kembali kemesraan tubuh, kesadaran dan jiwa spiritural yang membumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar