Konsumen saat ini semakin kritis. Mereka tidak sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang Muslim, juga kehalalannya. Dan, label halal pun menjadi kunci dalam memutuskan membeli atau tidak suatu produk. ''Halal atau tidak, nih?'' ujar Irish mengamati sebungkus Kwetiau Instant asal Malaysia yang belum beredar di sini. Kakaknya, yang jauh-jauh dari Kualalumpur membawa makanan itu, kontan membelalakkan matanya. Setahu dia, Irish adalah menyantap mie nomor wahid. Ia tak menyangka adiknya yang auditor di sebuah kantor akuntan publik ini tampak tak begitu berminat dengan buah tangannya itu. ''Sorry. Aku tidak bisa makan ini. Tak ada jaminan produk ini halal,'' kata Irish kemudian. Tapi ia langsung menyantap coklat berbentuk hati, setelah mengamati kemasannya dan senyumnya mengembang. ''Enak, dan halal.'' Menurut Irish, label halal baginya merupakan keharusan. Semenarik apapun makanan itu, jika pada kemasannya tidak mencantumkan label halal, maka lebih baik baginya untuk melupakannya. Irish juga memberlakukan 'hukum' itu saat memilih tempat makan. ''Makanya, seenak apapun bakmi X (ia menyebut nama sebuah restoran terkenal-red) kata oraang-orang, saya tak tertarik mencoba karena tidak terjamin kehalalannya,'' tambah jelita yang berhobi panjat tebing ini. Hal yang sama dilakukan juga oleh Sri Rahayu, karyawati perusahaan PMDN yang memproduksi minuman bervitamin ini. Menurutnya, hal pertama yang dilakukan jika berbelanja produk makanan baru -- di luar produk 'langganan' tiap bulan -- adalah labelnya. Dari label, yang dilihat pertama kali adalah jaminan kehalalan makanan itu. ''Meski aku agamanya belum bener sekali, tapi untuk makanan aku cari yang betul-betul bener,'' ujar lajang yang tinggal di Jl Bangka, Mampang, Jakarta Selatan, ini. Berbeda dengan Sri, Yetty, PNS yang berkantor di kawasan Kuningan ini menyatakan label halal saja tidak cukup. Menurutnya, yang terpenting adalah nomor registrasi dari Departemen Kesehatan. ''Label halal itu biasanya menyertai ijin dari Depkes, kok,'' ujarnya yakin. Lagi pula, kata Yetty, tulisan halal pada kemasan juga belum menjamin produk tersebut benar-benar halal. Bisa saja sang pedagang sendiri yang mencantumkan. ''Tapi kalau tak ada nomor registrasi Depkes, itu alamat produk yang dijual adalah produk yang enggak beres,'' imbuhnya. Tuntutan konsumen akan produk halal belakangan memang semakin besar. Diakui Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Aisyah Girindra, konsumen Muslim saat ini makin kritis. Mereka tidak sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi juga kehalalnya. ''Kasus terakhir (kasus bumbu masak Ajinomoto-red) yang menarik reaksi publik begitu besar adalah satu contohnya,'' ujarnya. Di sisi lain, animo produsen untuk mensertifikat halalkan produknya juga semakin tinggi. Menurut Aisyah, hampir tidak ada waktu tanpa pengujian bagi para peneliti di LPPOM MUI. ''Kami makin sibuk saja,'' ujarnya. Apalagi, sejak Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan (sekarang Badan POM) menyerahkan sepenuhnya urusan kehalalan ini pada LPPOM MUI. Sebelumnya, memang ada dua model sertifikasi halal, dari MUI dan Direktorat POM. Namun belakangan, BPOM telah menyerahkan sepenuhnya sertifikasi halal ini kepada Komisi Fatwa MUI. Hal ini ditegaskan Kepala BPOM Drs. Sampurno MBA dalam dengar pendapat dengan DPR RI medio Pebruari lalu. ''Pemberian atau penolakan sertifikat halal sepenuhnya berada di MUI,'' ujarnya. Berdasar fatwa MUI ini, BPOM akan memberi persetujuan pencantuman label halal bagi yang memperoleh sertifikat halal, atau memberi penolakan bagi yang tidak mengantongi sertifikat halal. Kerjasama itu, kata Aisyah, jelas memberikan kepastian bagi konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk makanan. Menurut Aisyah, kerjasama Depkes - LPPOM MUI sudah sampai pada taraf menjamin suatu produk halal dan thoyib. ''Dari segi agama aman, dari segi kesehatan pun demikian,'' ujarnya. Bagi konsumen dan produsen, satu pintu sertifikasi halal ini memang menguntungkan. ''Setidaknya tidak banyak meja yang harus dilalui, yang artinya menghemat biaya sehingga tidak perlu dibebankan kepada konsumen,'' ujar Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir. Husna mengakui adanya 'semangat' akan tuntutan sertifikasi halal di tengah-tengah konsumen, utamanya yang beragama Islam. Namun sejauh ini, belum ada angka pasti untuk mengukur tingkat kepedulian konsumen Muslim terhadap produk halal ini. ''Kita belum melakukan survei mengenai hal itu,'' ujarnya. Satu dua keluhan konsumen mengenai labelisasi halal sempat mampir ke alamat YLKI. ''Tapi itu belum cukup untuk menjustifikasi bahwa konsumen secara keseluruhan concern terhadap produk halal,'' ujarnya. Menurut Husna, yang berkepentingan terhadap sertifikat halal itu sebetulnya bukan hanya konsumen saja, tetapi juga produsen. Bagi masyarakat Indonesia yang tingkat intelektualitasnya semakin bagus dan makin kritis, produk halal menjadi keharusan. ''Sertifikasi halal mau tidak mau menjadi ajang untuk promosi dan memenangkan kompetisi pasar,'' ujarnya. Hanya saja, ada sedikit catatan dari Husna. Menurutnya, karena masyarakat awam melihat kehalalan hanya dari labelnya saja, maka harus ada lembaga yang menjamin bahwa produk bersertifikat halal itu benar-benar selalu halal. ''Jadi mustinya ada mekanisme pengawasan yang sangat ketat untuk mengawasi pasca pemberian sertifikat,'' ujarnya. Tanpa pengawasan, maka makna halal selanjutnya akan berkembang menuruti selera produsennya. Padahal ketentuan halal-haram adalah masalah krusial bagi konsumen. ''Itu pe-er terpenting yang akan kami garap dalam waktu cepat,'' janji Aisyah. Termasuk memikirkan kemungkinan membuat laboratorium pengujian sendiri -- selama ini masih nebeng pada Istitut Pertanian Bogor (IPB). Bukan itu saja. Ada pekerjaan rumah yang lain bagi LPPOM. Dari survei yang dilakukan lembaga itu di wilayah Jabotabek dan kota besar lainnya di jawa, ditemukan tak kurang dari 69 produk yang mencantumkan label halal bukan atas rekomendasi baik Depkes maupun MUI. Produk tersebut sebagian besar adalah produk permen yang menggunakan gelatin. Di sisi lain, ada juga perusahaan yang baru mendapat sertifikat halal untuk beberapa jenis produk langsung mengklaim semua produknya halal. Ada juga produk yang awalnya telah mendapat sertifikat halal MUI (masa berlakunya selama dua tahun) namun setelah habis tidak diperpanjang lagi. ''Dan sertifikat halal itu juga tidak pernah dicabut lagi,'' ujarnya. Jika sistem produksi yang digunakan masih sama, barangkali bukan masalah. tapi jika lantas mengubah sistem secara keseluruhan, maka siapa yang dirugikan. Ini yang akan dijembatani LPPOM MUI melalui situs mereka www.halal-MUI.com, atau www.indohalal.com, serta media massa lain. Agaknya, menjadi konsumen kritis seperti Irish masih harus ditambah satu poin: rajin mencari informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar