Sabtu, 05 September 2009

Mengawal RUU Jaminan Halal

 

Keraguan konsumen terhadap kehalalan produk masih terjadi. Setelah kasus dendeng babi, kita dihadapkan vaksin meningitis (radang selaput otak) bagi jamaah haji dan umrah. Klaim produsen, Glaxo Smith Kline (GSK), bahwa vaksin meningitis bebas dari material bovine (sapi) dan pocine (babi) tidak terbukti. Pembuatannya masih menggunakan enzim babi. Inilah hasil presentasi GSK di Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara (MPKS) Depag, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Komisi Fatwa MUI, serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Rabu (20/05/09).

 

Fakta ini menunjukkan bahwa tanpa payung hukum yang kuat, hanya membuat masyarakat terus disibukkan isue kehalalan produk yang mereka butuhkan. Di sinilah pentingnya memprioritaskan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) di DPR. Sebelumnya, Ketua Panja RUU JPH, Said Abdullah menyatakan, akan mengupayakan RUU ini selesai pada persidangan sebelum dilantiknya DPR baru. Hal ini perlu kita dicermati karena janji serupa telah berulang kali kita dengar. Kita berharap legislasi UU JPH akan menjadi dasar hukum yang kuat untuk mengarahkan produksi, distribusi, dan konsumsi produk halal di negeri ini.


Legislasi masa lalu


Legislasi produk halal di Indonesia bukan hal baru. Permenkes No 280/Menkes/Per/XI/1976, pasal 2 telah mengatur peredaran dan penandaan makanan yang mengandung bahan asal babi. Singkatnya, wadah atau bungkus makanan mengandung bahan asal babi harus dicantumkan peringatan gambar babi atau tulisan MENGANDUNG BABI berwarna merah.


SKB Menag dan Menkes, No 427/Menkes/SKB/VII/1985 dan No 68/1985 pasal 1, 2, dan 4 juga mengaturnya. Pasal 2 meyatakan produsen yang mencantumkan tulisan halal pada label atau penandaan makanan produknya bertanggungjawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Pasal 4, pengawasan preventif dilakukan Dirjen POM mengikutkan unsur Depag, sedang di lapang diawasi oleh aparat Depkes. Fakta menunjukkan pengawasan label halal atau tanda produk mengandung babi, jauh dari harapan. Munculnya heboh lemak babi pada 1988 menghentak kesadaran masyarakat, MUI, dan pemerintah untuk menanganinya lebih serius.


Melalui perdebatan panjang masuklah kata halal dalam UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan pasal 30, 34, dan 35. Pasal tersebut menyatakan, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada di dalam dan atau di kemasan pangan (pasal 30 ayat 1). Label tersebut sekurang-kurangnya memuat a. Nama produk, b. Daftar bahan yang digunakan, c. Berat bersih atau isi bersih, d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi, e. Keterangan tentang halal, dan f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa.


Sayang, ada kontradiksi di penjelasan pasal 30 ayat 2 mengenai keterangan halal produk pangan tersebut pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban bila produsen atau importir menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Semangat memproduksi dan memperdagangkan produk halal dalam satu ayat dimentahkan dalam penjelasannya. Pernyataan halal yang sukarela inilah yang diduga menyebabkan sertifikasi dan pencantuman logo halal dilakukan produsen jika merasa untung.


Kita berharap pengalaman masa lalu tidak terulang lagi dalam pembahasan RUU JPH di DPR saat ini. Karena itu pembahasan RUU JPH perlu dilakukan lebih serius dan komprehenship.


Menatap masa depan


Upaya pengajuan RUU JPH dari Depag yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) perlu dihargai. Namun, pasal demi pasal dan penjelasan RUU tersebut perlu dicermati. Jangan sampai harapan mendapatkan jaminan halal yang komprehenship terkorbankan. Salah satu masalah yang mengemuka saat dengar pendapat dengan pihak terkait adalah pemerintah melalui menteri agama melakukan pemeriksaan dengan menunjuk atau mengangkat lembaga yang berwenang untuk itu. Lalu meminta MUI untuk menetapkan fatwa halal-nya. Tanggapan berbagai pihak nampaknya masih menginginkan lembaga pemeriksa halal di LPPOM MUI dan fatwa dari Lembaga Fatwa MUI. Melihat kondisi di atas, dalam pembahasan RUU JPH perlu dicermati.


Pertama semangat untuk memberikan jaminan halal ini perlu didukung semua pihak. Jangan sampai dorongan keimanan dan pemenuhan hak konsumen, berbelok pada siapa yang berhak memberikan sertifikasi dan logo halal. Akan lebih penting jika bentuk dan ciri yang jelas label halal yang absah ditetapkan, sehingga masyarakat tidak kebingungan dengan banyaknya label halal seperti saat ini.


Kedua sembilan belas tahun, kiprah LPPOM MUI merintis dan melakukan sertifikasi dengan Sistem Jaminan Halal (SJH) perlu didukung dan dikembangkan lebih lanjut. Jangan sampai bangsa ini lupa sejarah bahwa LPPOM MUI telah diakui pengusaha dan pasar domestik dan internasional. Kelembagaan pemeriksa dan fatwa halal perlu legimitasi yang kuat.


Ketiga cukup krusial jika pemeriksaan (auditor) halal dilakukan Depag atau lembaga baru yang ditetapkan menag dan masih dipertanyakan kemampuan dan kredibilitasnya. Hindarkan peraturan yang memberi peluang pemeriksaan halal dapat dipengaruhi lobi yang menurunkan kepercayaan konsumen,


Keempat audit halal halal berbeda dengan audit mutu. Auditor mutu umumnya cukup dituntut kemampuan sains dan aplikasinya di lapangan. Di sisi lain, auditor halal dituntut kemampuan sains, integritas dan rekam jejak yang baik, serta diakui ulama (lembaga fatwa). Ini wajar karena, audit halal telah masuk ranah keagamaan yang menuntut zero tolerant dan kredibilitas yang tinggi di masyarakat.


Kelima lebih tepat jika pemerintah berperan sebagai law-enforcement dengan menetapkan UU JPH secara legal dan mengawasi secara ketat. Seringkali implementasi pengawasan dan tindakan tegas sulit dijumpai. Terjadinya kasus dendeng babi akhir-akhir ini membuktikan hal ini. Ketidakjelasan lembaga pengawas atau sporadisnya pengawasan akan menyeret kerugian pada pengusaha sejenis yang ikut tidak dipercaya konsumen. Tentu ini tidak kita harapkan.


Keenam diperlukan perubahan mendasar menuju jaminan halal bersifat mandatori (kewajiban) dari perundangan sebelumnya bersifat voluntary (sukarela) bagi produsen dan pelaku pasar.


Dari sini pemerintah memiliki payung hukum mengontrol produksi, peredaran, dan konsumsi produk halal. Perlu antisipasi kesulitan yang muncul dengan kebijakan teknis. Misalnya besarnya UKM yang belum melakukan sertifikasi halal karena kesulitan biaya, kehalalan produk non kemasan seperti produk kuliner, ayam, daging, restoran, dan lain-lain.


Terlepas dari kompleksnya masalah penerapan jaminan halal, masyarakat tidak boleh melupakan semangat legislasi ini. Hal ini menyangkut hak sekaligus kewajiban konsumen muslim. Adanya perundangan JPH yang komprehenship tidak hanya menentramkan mayoritas penduduk negeri ini, tetapi menjadi instrumen untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas di dalam negeri maupun luar negeri. Sekarang produk halal bukan hanya diminati muslim tetapi juga non-muslim di berbagai belahan dunia. Berbagai pihak perlu berperan dalam mengawal legislasi RUU JPH ini. Semoga UU JPH mewujudkan proses sertifikasi yang sederhana, efisien bagi produsen dan lembaga sertifikasi, serta menetramkan konsumen.

Penulis pemerhati produk halal dan kebijakan agroindustri dari Jurusan Teknologi Industri Pertanian (TIP) FTP Universitas Brawijaya. Sedang studi doktor di TIP IPB.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar