A. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi masyarakat akan konsumsi makanan halal.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) memberikan dasar-dasar konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia, setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis negara, Pancasila.
Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.
Pemerintah pun telah mengatur mengenai hal ini dalam aturan yang telah berlaku, yakni UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa
Pada ayat 3 diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan.
Namun, keterangan kehalalan tentang produk ini tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pasal 2 ayat (1) pada PP tersebut disebutkan Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Selanjutnya pada Pasal 3 disebutkan :
(1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.
Selanjutnya pada Pasal 4 disebutkan selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), untuk pangan olahan tertentu Menteri Kesehatan dapat menetapkan pencantuman keterangan lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia pada Label sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Selanjutnya pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan pada pasal 2 dalam aturan yang sama disebutkan pada label makanan dapat dicantumkan tulisan halal. Pada pasal 3 ayat 2 a disebutkan Produk Makanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam. SK ini pun tidak mendukung UU yang telah ada karena tidak dapat ''memaksa'' pelaku usaha untuk mencantumkan label halal.
Sementara, pada UU No 8 tahun 1999 pada pasal 8 ayat 1h disebutkan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ''halal'' yang dicantumkan pada label.
Meskipun peraturan tentang produk halal ini telah diatur oleh UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, timbul inisiatif pemerintah dalam hal ini Departemen Agama (Depag) untuk memunculkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal yang disusun dengan dalih bertujuan melindungi masyarakat dari mengonsumsi makanan, minuman, obat, kosmetika, dan menggunakan produk lainnya yang tidak halal sehingga dipandang perlu untuk menetapkan UU tentang Jaminan Produk Halal.
Pemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal ini tentunya merupakan ''kebijakan'' yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, atau perlu diubah, atau hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara atau pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti mensejahterahkan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud (Saragih ; 2006 : 18). Hal inilah yang dimaksud dengan Ius Constituendum, yakni peraturan yang dicita-citakan dengan adanya perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
Alasan pemerintah memunculkan RUU tentang Jaminan Produk Halal karena Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.
B. Ius Constitutum
Bukan hanya Ius Constituendum tentang RUU jaminan halal, seperti yang telah disebutkan di atas terdapat UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tahun 2001 pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengeluarkan SK Menteri Agama No 518 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, SK No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, dan SK No 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal. Bahkan, Pemerintah telah mengeluarkan aturan sebelumnya dengan SK No : 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan yang diubah dengan SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996. Hal inilah yang dimaksud dengan Ius Constitutum (hukum positif) yakni hukum yang berlaku dewasa ini.(Marpaung ; 1999 : 57) C. Perubahan Masyarakat Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut "label/tanda halal" pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.
II. PERMASALAHAN
Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal sebagai Ius Constituendum dan keluarnya SK Menteri Agama sebagai Ius Constitutum ternyata menimbulkan permasalahan dan pertentangan yang terjadi di masyarakat.
Alasannya, RUU ini mengandung tujuan yang menyimpang dengan apa yang disuratkan dalam tujuan RUU tersebut. RUU ini dinilai kurang efisien, baik dari segi pelaksanaan, maupun dari segi efektivitas biaya yang timbul.
Sebab, biaya yang timbul atas stiker halal yang diatur dalam RUU ini akan ditanggung oleh pelaku usaha. Dalam peraturannya penerbitan stiker halal ini melalui Departemen Agama.
Dalam pasal 59 draft RUU yang masih mencantumkan biaya labelisasi. Pasal 59 ini selengkapnya berbunyi:
(1) Biaya pemeriksaan produk, sertifikasi, label halal dan surveilen ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan permohonan
(2) Menteri teknis yang menangani bidang keuangan menetapkan struktur biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 92) ditetapkan oleh pemerintah
(4) Biaya sebagaimana dimaksud ayat (3) disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) fungsional.
Bandingkan dengan sertifikat halal yang melalui LP POM MUI yang juga distandarisasi atau melalui pengesahan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para pelaku usaha hanya cukup membayar biaya sertifikasi halal dan biaya pemeriksaan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
Namun, tidak dapat dipungkiri biaya proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan dipayungi hukum yang telah ada. Sehingga ada celah dalam penentuan biaya tersebut. RUU ini juga dinilai berbenturan dengan perundang-undangan yang ada, yakni UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, SK Menteri Agama No 518, SK No 519 dan SK No 525 dinilai tidak mempunyai landasan hukum di atasnya yang lebih kuat.
Permasalahan yang timbul seperti uraian latar belakang dan perlu diperbaiki untuk pelaksanaan jaminan produk halal di lapangan, adalah:
1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal dalam pelaksanaanya di lapangan belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya seperti produk pangan yang tidak dikemas. Keadaan demikian menjadikan umat Islam menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya.
2. Tidak adanya kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal.
3. Produksi dan peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, iradiasi, dan bioteknologi.
4. Adanya ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999 tentang Labela dan Iklan Pangan.
5. Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktikkan di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.
6. SK Menteri Agama No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang secara implisit menunjuk MUI sebagai badan standarisasi halal, dan SK Menteri Agama No 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal dinilai menghambat persaingan diantara pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal. Sedangkan SK Menteri Agama No 519 berbenturan dengan SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ''Halal'' pada Label Makanan.
7. Belum adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan . Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.
8. Belum tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan bidang keilmuanya untuk proses labelisasi makanan halal hingga ke tingkat daerah. Sehingga, terkesan proses sertifikasi makanan halal di beberapa daerah dilakukan hanya dengan kasat mata tanpa melalui uji laboratorium.
9. Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal.
III. PEMBAHASAN
Mendapatkan Sertifikat Halal dan mencantumkan tanda atau tulisan halal pada label produk adalah cara untuk melindungi umat dari mengonsumsi produk yang tidak halal, dan untuk mendukung hak informasi bagi konsumen agar mengetahui kehalalan suatu produk.
Tahun 2001 keluar SK Menteri Agama No 518 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, SK no 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, dan SK no 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal. Peraturan-peraturan tersebut menjadi kontroversial dan ditolak semua pihak.
Pada tahun 2003, RPP tentang Jaminan Produk Halal yang pernah dikeluarkan dan diusulkan untuk dinaikan menjadi RUU oleh Pemerintah dalam hal ini Departeman Agama ditolak oleh semua pihak dari mulai asosiasi konsumen muslim, asosiasi konsumen, industri, dan para pakar serta ulama karena sarat komersialisme dengan menggunakan dalih untuk melindungi umat.
Untuk saat ini RUU tentang Jaminan Makanan Halal telah sampai di Kementerian Hukum dan HAM dan yang terakhir sudah sampai pada Sekretariat Negara (Setneg). Dan rancangan ini dinyatakan telah mengakomodir masukan semua pihak-pihak terkait.
Selama ini upaya pemerintah dan produsen untuk melindungi umat dari mengkonsumsi produk yang tidak halal dan untuk mendukung hak informasi konsumen agar mengetahui kehalalan produk sudah berjalan dengan baik, yaitu melalui Sertifikasi Halal dari MUI dan dengan mencetak langsung tanda halal pada label produk.
Peraturan-peraturan yang ada saat ini yaitu UU No 7/1996 tentang Pangan, PP No 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah dengan jelas mengatur cara pencantuman tanda (tulisan) halal berikut sanksi hukum yang jelas.
Namun demikian, tidak terjadi ketidaksingkronan antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Dalam PP tidak disebutkan tanda label halal padahal di UU ini disebutkan. Hal inilah yang perlu diperbaiki. PP tersebut harus dilakukan revisi agar sesuai dengan payung hukum yang telah ada.
Demikian juga dengan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh Menteri. Peraturan Menteri (Permen) yang dibuat harus diperbaiki dan mengacu pada perundang-undangan telah ada. Sehingga terdapat aturan yang dapat ''memaksa'' pelaku usaha untuk pencantuman label ''halal'' pada produk yang dikeluarkannya terutama untuk produk makanan yang tidak dalam kemasan.
Secara teknis tentang pencantuman label ''halal'' Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan SK No : 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Dalam lampiran SK tersebut yakni pada Bab V tentang Persyaratan Higiene Pengolahan telah dijelaskan aturan-aturan baku dalam proses pembuatan makanan halal dan persyaratan higiene pengolahan makanan menurut syariat Islam.
Menteri Kesehatan juga mengeluarkan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ''Halal'' pada Label Makanan pada pasal 8 disebutkan Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan ''Halal'' wajib siap diperiksa oleh petugas Tim Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.
Pada pasal 10 ayat 1 Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia. Ayat 2, Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat 1 disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memperoleh Fatwa. Ayat 3, Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
Pasal 11, Persetujuan pecantuman tulisan ''Halal'' diberikan berdasarkan Fatwa dari Komisi Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya pada pasal 12 ayat 1 diatur Berdasarkan Fatwa dari MUI, Direktur Jenderal (Dirjen) memberikan :
a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ''HALAL''.
b. Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ''HALAL''.
Pada ayat (2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan penolakan. Selanjutnya pada pasal 17 diatur Makanan yang telah mendapat persetujuan pecantuman tulisan ''Halal'' sebelum ditetapkan keputusan ini, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam keputusan ini selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini.
Sementara, berdasarkan pelaksanaan teknis dari MUI, proses mendapatkan Sertifikat Halal telah berjalan sangat baik. Label dan sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah mempelajari hasil auditing yang dilakukan LP-POM MUI. Namun, untuk mencantumkannya dalam kemasan produk menjadi tanggung jawab produsen. Untuk sertifikat cukup dengan mencantumkan nomor register yang tertera dalam sertifikat halal.
Pencantuman tulisan halal pada label pangan dilakukan oleh produsen setelah mengajukan kepada Badan POM dengan lampiran salinan sertifikat halal. Keterangan halal yang dicetak langsung pada kemasan telah dapat memberikan jaminan kepada konsumen. Biaya yang dikeluarkan cukup Biaya Pemeriksaan Halal dan Biaya Sertifikat saja.
Biaya Pemeriksaan Halal dan Biaya Sertifikat berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 1 juta per produk dengan masa berlaku dua tahun. Besarnya menjadi relatif karena terjadi subsidi silang antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil. Bahkan, ada juga yang dibebaskan dari biaya. Jadi, tidak ada alasan untuk memberatkan.
Untuk mencegah beredarnya produk yang mencantumkan tulisan halal namun tidak memiliki sertifikat halal, cukup dengan meningkatkan sistem dan mekanisme pengawasan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini sehingga peraturan perundang-undangan yang ada dapat berjalan efektif.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, pengawasan adalah serangkaian kegiatan diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei terhadap barang dan jasa yang beredar di pasar, guna memastikan kesuaian barang dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label, klausula baku, cara menjual, pengiklanan serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
Agar pengawasan dilakukan lebih efektif, langkah lain yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan peran serta Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Bahkan, Pemerintah dapat mengoptimalkan peran Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewakili Departemen Agama dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesemas) yang mewakili Departemen Kesehatan di tingkat kecamatan untuk melakukan pengawasan barang yang beredar.
RUU tentang Jaminan Produk Halal juga mempunyai kelemahan dalam aspek biaya. Dengan adanya RUU ini Pemerintah dinilai telah mengeluarkan suatu kebijakan yang menimbulkan high cost economy dan merugikan kepentingan nasional. RUU dinilai akan menambah beban biaya bagi pelaku usaha. Paling tidak, pelaku usaha harus menanggung biaya cetak label halal resmi. Hal itu terlihat dari ketentuan yang mengatur masalah jumlah produk halal yang akan dihasilkan.
Dalam Pasal 54 RUU tentang Jaminan Produk Halal disebutkan, pelaku usaha mengajukan permohonan kepada Menteri Agama untuk menggunakan label halal resmi. Surat permohonan itu dilengkapi lampiran mengenai merek dagang, jenis dan ukuran kemasan, jumlah kemasan, dan wilayah pemasaran barang yang akan dilabel halal, serta bukti pembayaran biaya label halal dari kantor kas negara.
Selama ini informasi halal cukup menyatu dengan label informasi produk sesuai aturan dalam PP No 69/1999. Pada Pasal 10 disebutkan, pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Label memuat informasi mengenai produk seperti bahan yang digunakan dan tanggal kedaluwarsa. Dengan turut sertanya Depag dalam memberi pengakuan proses pelabelan halal, proses menjadi tidak efisien dan rentan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam aspek landasan hukum, RUU tentang Jaminan Produk Halal bertentangan atau tidak sesuai dengan PP No 69/1999. Dalam PP itu, Depag dan MUI hanya berwenang dalam pengaturan lebih lanjut proses sertifikasi halal, bukan hal teknis dengan menerbitkan stiker halal. Sementara teknis pelabelan, termasuk pemuatan keterangan halal, merupakan kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan setelah memperoleh sertifikasi halal dari MUI. Selain itu, dalam PP No 69/1999 tidak dikenal istilah "label halal resmi", sementara dalam RUU ada ketentuan mengenai "label halal resmi". Kemudian timbul pertanyaan apakah sertifikasi halal yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini tidak resmi.
Selanjutnya, penerbitan RPP dan SK Menteri Agama ini terkesan tidak melalui proses penyaringan aspirasi masyarakat. Buktinya, terjadi resistensi atau penolakan masyarakat saat produk ini dikeluarkan. Ini menunjukan para penyelenggara negara tidak menarik atau merumuskan nilai-nilai dan aspirasi itu dalam bentuk tertulis sehingga lembaga negara tidak peka terhadap kedua hal tersebut. Meminjam istilah Teuku Mohammad Radhie, idealnya adalah legal framework,yaitu sebuah kerangka umum yang memberikan bentuk dan isi dari dari hukum suatu negara, (Radhie ; 1997: 211) bukan lembaga genuine dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga – lembaga negara itu berkumpul berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih mementingkan aspirasi kelompoknya daripada aspirasi masyarakat secara umum. Adanya resistensi ini juga menunjukan subsistem politik lebih powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya, subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada subsistem hukum.( Satjipto Rahardjo ; 1983 : 71).
Menurut Mochtar Kusumaatmaja proses pembentukan perundang-undangan harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevant) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan hendak merupakan suatu pengaturan hukum efektif. Efektifnya produk produk perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Produk hukum yang menjauhkan tata hukum dengan realita masyarakat, umumnya selalu menimbulkan ketegangan antara positivitas dengan masyarakat, karena ruling class hanya ingin mempertahankan kekuasaannya atau memupuk (mengkonsentrasikan) kekuasaan pemerintahan itu di tangannya sendiri sedang kepentingan sosial (masyarakat umum) diabaikannya. Dengan demikian perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam produk hukum yang telah ada dan berlaku di masyarakat saat ini. UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, perlu dilengkapi tentang jaminan produk halal sampai mencakup hal teknis pelaksanaannya hingga penentuan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas yang harus dipenuhi pada tingkat daerah kabupaten / atau kota.
Keluarnya SK Menteri Agama No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang secara implisit menunjuk MUI sebagai badan standarisasi halal dinilai berbenturan dengan No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ''Halal'' pada Label Makanan yang mengatur hal yang sama. Sehingga SK Menteri Agama No 519 ini perlu diganti agar tidak berbenturan dengan aturan yang telah ada dan memiliki kekuatan hukum karena mengacu pada aturan yang telah ada.
Sedangkan keluarnya dan SK No 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal dinilai menghambat persaingan diantara pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan para pengusaha untuk mengajukan sertifikasi.
Dengan wilayah yang luas dan kepulauan, tentunya para produsen atau pelaku usaha akan mengalami kesulitan untuk melakukan pelabelan halal jika dilakukan oleh Peruri. Selain kendala waktu dan jarak, biaya juga menjadi suatu permasalahan. Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para produsen dari Papua jika ingin melakukan sertifikasi halal berdasarkan SK tersebut jika harus dilakukan di Jakarta?.
Payung hukum SK Menteri Agama tersebut juga dinilai kurang kuat, sebab dalam UU yang telah ada tidak ada pengaturan labelisasi halal harus melalui Peruri, melainkan dilakukan oleh Departemen Kesehatan setelah mendapat sertifikasi halal dari MUI. Sehingga SK ini perlu dicabut.
Penunjukan MUI sebagai badan sertifikasi halal memiliki beberapa alasan, jika seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, diberi kewenangan oleh pemerintah untuk memeriksa kehalalan suatu produk, karena dinilai akan merugikan masyarakat maupun dunia usaha. Alasannya, sertifikasi dan labelisasi halal akan menjadi tidak efektif bila diperiksa lembaga lain di luar MUI, dan hanya menjadi milik kelompok tertentu.
Selain tidak efektif, pemberian kewenangan kepada lembaga lain untuk memeriksa halal tidaknya suatu produk juga terkesan mengesampingkan keberadaan MUI yang sudah menjalankan fungsinya selama 12 tahun. Sementara, MUI itu terdiri dari semua unsur, ada Muhammadiyah, NU, Persis, dan lainnya. Dan jika merujuk proses penerbitan label halal di Singapura dan Malaysia juga dilakukan oleh Majelis Ulama setempat.
Adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan juga harus ada dalam aturan. Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.
Selanjutnya dalam aturannya harus ditetapkan klasifikasi secara detil, tentang sumber daya manusia (SDM) yang berkaitan dengan penerbitan sertifikasi halal. Minimal dalam aturannya yang melakukan uji teknis makanan adalah SDM yang memiliki pendidikan setingkat sarjana di bidang masing-masing seperti sarjana yang mengerti dan menguasai tentang teknologi pengolahan pangan dan bahan pertanian.
Penunjukan SDM ini juga harus didukung dengan fasilitas yang memadai seperti laboratorium di daerah sehingga dapat memudahkan dan mempercepat proses pemeriksaan. Biaya pengadaan dan perawatan laboratorium ini dapat menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah/Kota atau pun Provinsi setelah standarisasi dan pengelolaan biaya sertifikasi dapat dilakukan secara transparan dan diketahui masyarakat serta pemerintah serta dipayungi dengan aturan yang berlaku minimal setingkat Perda.
Ambil contoh seperti di Batam, daerah yang berbatasan dengan negeri jiran Malaysia dan Singapura ini tidak memiliki standarisasi biaya sertifikasi halal yang dipayungi oleh aturan hukum positif, baik itu Undang-undang ataupun Peraturan Daerah (Perda). Hal ini tentunya menimbulkan celah yang ujungnya menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Sama dengan problem yang telah disebutkan di atas, maka perlu adanya peningkatan SDM yang mampu untuk melaksanakan sertifikasi.Hal ini juga didukung dengan fasilitas yang memadai seperti laboratorium di daerah. Adanya sosialisasi dan peningkatan kesadaran masyarakat harus dilakukan agar, sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal. Sosialisasi untuk peningkatan kemampuan masyarakat ini juga harus sampai pada pelaksanaan sanksi hukum dan pengawasan jika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap labelisasi makanan halal. Hal ini menuntut peningkatan peran serta masyarakat, pemerintah, penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) sebagaimana di atur dalam Undang-undang No 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen.
IV. KESIMPULAN
Perspektif ekonomi menghendaki perlunya dibuat mekanisme sistem jaminan produk halal yang ekonomis, cepat dengan biaya rendah untuk sertifikasi halal. Sistem jaminan halal juga mencerminkan adanya pengawasan dan pengendalian produk halal oleh Pemerintah. Di tingkat internal produsen, pengendalian produk halal memerlukan perangkat paling tidak adanya halal insurance system yang mengharuskan adanya tim halal dalam perusahaan untuk menjamin kehalalan produknya.
Untuk itu, seyogyanya Pemerintah tidak mengeluarkan suatu kebijakan yang menimbulkan high cost economy dan merugikan kepentingan nasional. Peraturan yang telah ada seharusnya diubah untuk disempurnakan sehingga dalam pelaksanaan teknisnya tidak menimbulkan kesulitan.
Dalam khazanah ilmu hukum suatu peraturan peraturan dapat diakui eksistensinya bila mempunyai suatu keabsahan dari sisi filosofis, yuridis, dan sosiologisnya.
Keabsahan secara yuridis (juritsche geltung) adalah apabila ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi.
Keabsahan sosiologis (soziologische geltung) adalah apabila berlakunya tidak hanya karena paksaan penguasa tetapi juga diterima masyarakat.
Keabsahan filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dalam UUD 1945 nilai-nilai tersebut tercemin dalam apa yang disebut dengan Cita Hukum (rechtsidee).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar